Babad Gilingwesi

Buku Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi

Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi | Yusi Avianto Pareanom | Penerbit: Banana | Edisi ketiga, September 2018 | Tebal: 470 halaman | ISBN: 978-979-1079-52-5

Jangan menilai buku dari sampulnya. Termasuk jangan menilai buku dari judulnya. Beberapa hari lalu ketika penasaran dengan novel Martin Suryajaya yang berjudul Kiat Sukses Hancur Lebur, saya mulai mencari keterangan di internet. Lewat google books terdapat beberapa halaman yang bisa dinikmati, termasuk daftar isi. Jika membaca daftar isi novel itu, kita seperti melihat daftar isi buku bisnis, bahkan ketika saya menangkap layar halaman tersebut dan membagikan ke whatsapp, ada teman yang tertarik, saya bilang kalau ini novel, dan bunyi terkejut muncul. Mungkin novel Martin akan menjadi daftar buku impian yang akan dibeli esok hari, jika sudah ada uang.

Kembali ke novel Yusi, hal serupa berlaku. Jangan menilai buku dari judulnya. Pasalnya, tak jauh dari hari ini, ada seorang teman yang mengikuti giveaway salah satu toko buku daring lewat platform instagram, hadiahnya dua buah buku Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi untuk dua orang pemenang. Sama seperti kegiatan bagi-bagi buku sebelumnya, peserta diminta memberikan alasan kenapa menginginkan buku tersebut. Teman tadi memberi alasan lewat kolom komentar, bahwa dia ingin mengisahkan buku Raden Mandasia kepada keponakannya. Memang strategi pemasaran buku Raden Mandasia sejauh ini dalam bingkai narasi dongeng-dongeng kontemporer, dan lagi dalam sampul depan di atas nama penulis terdapat keterangan “Sebuah dongen karya”. Tak salah jika ada pembaca yang ingin membacakan untuk keponakannya.

Akan tetapi, jika teman tadi sudah pernah melihat fisik buku ini, niscaya dia akan melihat sampul belakang yang terdapat kode batang di bawah kanan. Di atas kode batang tersebut ada tulisan yang merujuk pada kategori buku. Jika kategori tersebut tertutup oleh label harga, maka kategori akan susah dilihat. Tapi biasanya label harga sedikit ke atas dari kode batang. Kita bisa melihat kategori novel ini dan harus juga melihat kategori novel lain jika membeli buku. Dan, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi masuk dalam kategori Dewasa. Doa baik semoga teman tadi menang dan membaca terlebih dahulu buku ini sebelum membacakan untuk keponakannya. Aamiin.

Sampul edisi ketiga buku ini bisa dibilang lebih bagus dari dua edisi sebelumnya. Lebih lembut dan enak dipandang juga sederhana dengan tulisan judul yang tipis. Kisah dituturkan oleh Sungu Lembu dan melalui panca inderanya kita menikmati cerita ini. Raden Mandasia sendiri sejatinya adalah Pangeran Gilingwesi, kerajaan besar yang menaklukan kerajaan Sungu Lembu. Dengan siasat yang cerdik, akhirnya Sungu Lembu bisa berteman dengan Raden Mandasia. Kisah-kisah yang tersaji tak jauh dari perang, ranjang, makan, dan perjalanan.

Dalam buku ini, riwayat berdiri dan pudarnya Kerajaan Gilingwesi tertulis. Mulai dari kerajaan awal Medang Kamulan yang direbut lengkap dengan prajurit dan Ratunya oleh Watugunung. Kemudian pudar secara perlahan oleh Ekspedisi Gilingwesi menuju Gerbang Agung dan pemberontakan kerajaan bekas taklukan, termasuk Banjaran Waru, kerajaan Sungu Lembu. Watugunung mengawini dua istri Raja Medang Kamulan yang merupakan kakak beradik, Dewi Sinta dan Dewi Landep. Dewi Sinta melahirkan anak kembar tiga belas dan, hanya kelahiran terakhir yang tunggal. Sehingga Watugunung memiliki dua puluh tujuh putra.

Penamaan tokoh anak-anak Watugunung mengingatkan saya secara pribadi kepada Pawukon dalam kalender jawa, juga Watugunung, Sinta dan Landep termasuk dalam wuku, namun dalam wuku, Mandasia tertulis Mandasiya. Tapi apa itu wuku, kapasitas pribadi saya kurang mampu menjelaskan. Khazanah dongeng-dongeng juga peristiwa sejarah dihimpun secara apik oleh Yusi. Sebagai pembaca kita akan sadar terhadap beberapa legenda dan dongeng, juga peristiwa sejarah yang digunakan. Kita bisa menirunya dalam tulisan kita, saya sedikit teringat workshop Yusi di Kota Lama, kurang lebih dia berkata, bagaimana jika Malin Kundang bekerja jadi PNS. Ilmu penokohan yang tinggi memang, dan sangat apik diramu.

Gilingwesi, didirikan Watugunung dengan niat mulia, mengatur sebuah negara berjalan secara baik. Penaklukannya terhadap kerajaan tetangga juga sama mulianya. Namun niat mulia tersebut tidak memiliki eksekusi baik sehingga muncul pemberontakan. Ketika Gilingwesi mulai pudar, Sungu Lembu menyadari semua berjalan dengan tenang tapi aneh. Memang, seburuk-buruknya negara, lebih buruk jika tidak ada negara.

Setiap bab menyajikan khazanah yang menarik dan menyenangkan. Buku tebal ini terasa terlalu cepat untuk habis, meskipun harus diakui bab Rumah Dadu Nyai Manggis cukup panjang dan melelahkan. Dongeng-dongeng disajikan dengan bumbu yang pas dan umpatan khas. Menjadi alternatif umpatan ketika kita marah. Sebagai penutup ada sedikit nasihat yang ditujukan untuk Sungu Lembu, nasihat ini yang membuat dia mulai tertarik untuk menulis. Doa ini juga untuk kita semua.

“Menulislah, agar hidupmu tak seperti hewan ternak, sekadar makan dan tidur sebelum disembelih.” Nasihat Loki Tua untuk Sungu Lembu, halaman 320.


Semarang, Februari 2021

Tidak ada komentar untuk "Babad Gilingwesi"