Kalung Anti Virus: Indonesia Anti Kepakaran?

Ilustrasi Kalung Anti Virus

Kalung Anti Virus Corona semakin menambah daftar polemik yang dilakukan Pemerintah dalam mengatasi Pandemi COVID-19. Kalung keluaran Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian itu diklaim oleh Sang Menteri mampu mematikan corona dengan kontak, semakin lama dipakai maka semakin banyak virus tereliminasi. Tidak perlu waktu lama, para pakar yang kompeten dibidangnya mulai meragukan klaim tersebut. Bahkan beberapa pakar mulai menanyakan proses pengujian kalung anti virus yang dilakukan oleh Balitbangtan. Pakar juga menanyakan detail informasi terkait penggunaan dan manfaat kalung itu.

Polemik itu diputus oleh Kepala Balitbangtan sekaligus memberi klarifikasi atas klaim Pimpinannya. Dia mengatakan bahwa kalung yang terbuat dari eucalyptus itu bukan antivirus, melainkan hanya aksesoris kesehatan. Produk lain yang dikeluarkan oleh Balitbangtan dari penelitian yang sama adalah roll on dan inhaler. Dua produk yang disebut terakhir masuk dalam kategori Jamu pada BPOM. Setelah melakukan klaim dan menimbulkan polemik, Menteri Pertanian (Mentan) mengatakan bahwa dia tidak boleh mengatakan sesuatu terkait kalung itu lagi.

Langkah yang dilakukan Mentan dalam membuat klaim sepertinya mengikuti kebiasaan rekan sejawatnya untuk menimbulkan polemik di tengah krisis. Masih hangat dalam ingatan kita bagaimana Menkes merespon pertanyaan terkait cara mengevakuasi WNI di Wuhan. Beliau mengatakan tidak tahu, karena wilayah itu ditutup, tidak bisa masuk dan keluar. Sangat tidak membuat tenang masyarakat yang saudaranya ada di Wuhan. Terlepas dari hal itu, WNI di Wuhan berhasil dievakuasi dan dikarantina. Juga dengan WNI lain yang berkegiatan di luar negeri.

Jika Mentan membuat polemik dari dirinya sendiri, Menkes biasanya membawa WHO dalam setiap polemiknya. Seperti penggunaan masker yang tidak ditujukan untuk orang sehat, Menkes mendapat dukungan dari perwakilan WHO di Indonesia. Dia mengatakan daripada menggunakan masker lebih baik yang sehat menjauhi yang sakit dan menyalahkan masyarakat yang berbondong membeli masker sehingga harga masker melambung. Selang beberapa bulan Pemerintah mulai menghimbau penggunaan masker kain untuk menghindari paparan COVID-19. 

WHO sendiri beberapa waktu lalu didesak para ilmuan untuk mengakui bahwa virus corona bisa tertular lewat udara, dan baru – baru ini mengakuinya. Desakan itu muncul setelah para ilmuan melakukan penelitian secara komprehensif dan lama. Pendapat setiap pakar merupakan pendapat mutakhir bukan yang terkahir. Jika dulu Menkes mengatakan tidak perlu memakai masker dan kemudian merevisi pernyataan tersebut, bisa jadi itu merupakan hasil penelitian termutakhir tentang manfaat masker. Namun, sudah pasti pernyataan tersebut tidak akan kembali ke argumen awal dan mengatakan penggunaan masker tidak berguna.

Jika kita gunakan logika diatas untuk kasus kalung anti virus. Maka klaim anti virus yang sudah diklarifikasi menjadi aksesoris kesehatan tidak mungkin kembali dalam argumen antivirus. Meskipun penelitian lanjutan dengan eucalyptus masih akan terus dilakukan. 

Keluar dari kualitas komunikasi publiknya, Menkes memerlukan otoritas pakar untuk membuat argumen, namun hal itu memerlukan waktu lama, sedangkan dalam kondisi krisis, publik memerlukan penanganan secepatya. Berbeda dengan Mentan, klaim yang dilakukan terkesan terburu-buru, mengingat klaim tersebut dikeluarkan setelah Presiden melakukan teguran pada jajaran menteri terkait kinerja dalam menangani Pandemi COVID-19. 

Klaim tersebut seharusnya melukai Tim Riset Balibangtan yang sudah melakukan penelitian sejak Januari lalu, ketika mendengar info terkait virus corona. Klaim Mentan melompat jauh melewati serangkaian uji metodologis yang seharusnya dilakukan oleh tim peneliti. Klaim seharusnya tidak dilakukan secara sepihak, melainkan dua pihak. Perlu adanya legitimasi dari peneliti lain, hingga hasil penelitian tersebut dapat dinyatakan sebagai antivirus. 

Dalam penelitian bidang sosial, perlu tinjauan sejawat untuk memberikan masukan atau saran terkait sebuah penelitian, hingga penelitian tersebut mendapat kredibilitasnya. Mengingat hasil penelitian ini berupa produk yang akan digunakan masyarakat, tidak adanya legitimasi dari peneliti lain menjadi kesalahan fatal sekaligus indikasi sikap anti kepakaran bagi peneliti itu sendiri. Dan hal ini bisa membahayakan masyarakat.

Masyarakat untungnya tidak mudah percaya. Ketidakpercayaan masyarakat seperti pisau yang bisa memotong daging ayam atau membunuh orang. Memiliki dampak tergantung siapa yang menggunakan. Dalam kasus ini dampaknya sangat bermanfaat. Bagaimana jika masyarakat percaya klaim tersebut, melupakan protokol kesehatan, dan berbondong membeli kalung anti virus?. Kasus positif corona bisa jadi meningkat dan berdampak lebih besar, selain, tentu harga kalung anti virus akan melambung karena mekanisme pasar.

Sikap anti kepakaran berawal dari kesalahan informasi yang dipercaya sebagai kebenaran. Hal yang keliru dalam menghadapi kesalahan informasi adalah melakukan bias konfirmasi dengan hanya menyaring data yang mendukung kesalahan informasi tersebut, bukannya mengakui itu sebuah kesalahan. 

Kesalahan informasi bisa terjadi pada siapapun. Namun, kesalahan informasi bisa berdampak fatal jika dilakukan oleh seseorang yang mempunyai otoritas dalam pemerintahan. Dampak fatal ini bisa terjadi karena pemerintah memiliki sifat memaksa, yang untungnya tidak terjadi (atau gagal terjadi?) dalam kasus kalung anti virus. Penanganan saat krisis memang harus dilakukan secepat mungkin, namun cepat dan terburu – buru selain bunyi dan hurufnya berbeda, juga memiliki makna berbeda.


Semarang, Juli 2020

*Artikel ini pernah dimuat di ibtimes.id 

Tidak ada komentar untuk "Kalung Anti Virus: Indonesia Anti Kepakaran?"