Pembawa Berita Bohong Berkisah tentang Mat Dawuk


Buku Dawuk
(Sumber: Marjin Kiri)

Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu | Mahfud Ikhwan | Penerbit: Marjin Kiri | Cetakan kedua, November 2017 | Tebal: vi + 182 halaman | ISBN: 978-979-1260-69-5

Terlalu basi mungkin untuk membahas buku terbitan tahun 2017, sekalipun novel itu menjadi Jawara Kusala Sastra Khatulistiwa pada tahun yang sama. Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu, sebuah novel karya Mahfud Ikhwan. Tapi ada yang menarik dari novel ini, latar tempatnya. Latar tempat dalam sebuah kisah biasanya hanya menjadi pemanis untuk pembaca. Tapi, lebih dari itu. Latar tempat adalah sebuah titik pijak untuk menentukan alur cerita, konflik, dan karakter penokohan. Tidak mungkin ada nelayan berkulit putih yang menanam teh di pantai atau petani garam yang hidup di dataran tinggi. Itulah pentingnya sebuah latar tempat.

Dalam novel ini latar tempat disebut jelas dalam judul, Rumbuk Randu. Sebuah desa yang digambarkan jauh dari laut, gunung, dan sungai besar. Rumbuk Randu adalah desa hasil membabat Hutan Jati. Latar tempat ini yang menjadi titik pijak kisah-kisah yang terjadi dan sebuah cerita tetang relasi kuasa antara Polisi Hutan dengan para blandong (penebang pohon liar). 

Seharusnya antara Polisi Hutan dan para blandong terjadi hubungan yang tidak harmonis, tapi itu tidak terjadi di Rumbuk Randu. Para blandong masih bisa berkeliaran dengan tenang. Birokrasi juga tak bisa berbuat lebih, bahkan keluarga blandong turut berperan sebagai “Pemberi Modal” dalam Pemilihan Kepala Desa. Polisi Hutan hanya akan menangkap blandong miskin. Blandong miskin hanya berbekal kapak dan biasanya mblandong pada malam hari sedangkan blandong kaya memiliki gergaji mesin, bahkan rumah penggergajian. Konflik antara blandong miskin dan Polisi Hutan ini juga terlihat seperti Hulu konflik dalam Novel Dawuk. 

Konflik antara Polisi Hutan dan blandong seperti menggambarkan kuasa yang terjadi pada orde baru, bahwa Negara yang seharusnya hadir untuk menyejahterakan rakyatnya, malah semakin membuat menderita. Dan hubungannya dengan blandong kaya menggambarkan bahwa capital lebih berkuasa dari pada Negara. Orde Baru memang menjadi latar waktu dalam Dawuk. Sudah terlihat jelas pada sinopsisnya yang menceritakan kekalahan PPP dari Golkar untuk pertama kalinya di Rumbuk Randu. Hanya ada tiga partai dalam orde baru yang masing-masing menjadi representasi budaya masyarakatnya. Ada transisi yang terjadi dari budaya yang berpusat pada agama menjadi terpusat pada priyayi dalam Dawuk. Salah satu simbol transisi ini adalah digunakannya Masjid sebagai Ruang Publik untuk bermusyawarah, dan priyayi menjadi tokoh sentral di dalamnya, bukan Ulama. Keputusan dalam musyawarah tersebut juga keputusan yang keji.

Pesanggem atau penggarap ladang hutan adalah pekerjaan lain yang ada di Rumbuk Randu. Akan tetapi pesanggem adalah petani kontrak dengan penghasilan yang tidak seberapa, alasan itu pula yang membuat masyarakat Rumbuk Randu lebih suka merantau menjadi pekerja migran. Mat Dawuk sendiri pernah berada di Malaysia dan bertemu dengan seorang perempuan yang akhirnya diperistri, Inayatun. Ina berasal dari keluarga priyayi yang dihormati di Rumbuk Randu. Ketika pulang mereka tinggal di dekat hutan dan menjadi pesanggem. Kisah cinta mereka ganjil, dan keganjilan tersebut tidak perlu digenapi.

Tidak ada yang ingin tinggal di hutan, kecuali dibuang. Ini berkaitan dengan sejarah desa itu sendiri. Rumbuk Randu juga menggambarkan masyarakat Indonesia yang lebih memilih menutup mata dan diam daripada melawan. Padahal hegemoni disekitar cukup merugikan mereka. Menunjukan jiwa masyarakat bekas jajahan. “Rumbuk Randu adalah tempat setiap masalah coba diselesaikan di atas kasur dan yang tidak selesai ditaruh diam-diam di bawah bantal” (hlm. 92). Kata di atas kasur bisa memiliki banyak arti dan menyimpan budaya masyarakat yang tak kalah ganjil.

Kisah Mat Dawuk dan Rumbuk Randu diceritakan dengan apik oleh Warto Kemplung. Dalam Novel, Warto sebagai orang ketiga berkisah tentang sejarah yang cukup jauh untuk ditarik dalam pusaran Kisah Mat Dawuk. Mat Dawuk sendiri bukanlah nama asli, melainkan nama pemberian masyarakat Rumbuk Randu, tentu diberi bukan untuk memujinya. Mat Dawuk memiliki kisah cinta yang semakin menjerumuskannya dalam jurang. Bukan hitam, hanya saja terlalu kelabu.

Novel Dawuk yang disajikan dalam babak-babak singkat membuat pembaca tidak sadar sudah menghabiskan waktu tidur mereka untuk membaca tuntas. Kita bisa melihat bagaimana konstruksi, cara pikir, cara pandang, dan budaya masyarakat dipengaruhi oleh unsur kewilayahan. Tapi kisah dalam Dawuk dibawakan oleh Warto Kemplung, dalam bahasa jawa diartikan sebagai Pembawa Berita Bohong. Seperti sindiran untuk masyarakat saat ini yang mudah percaya dengan kabar burung. Lantas, siapa yang bisa percaya cerita dari Warto Kemplung?


Semarang, Desember 2019

2 komentar untuk "Pembawa Berita Bohong Berkisah tentang Mat Dawuk"

Posting Komentar