Kapan Waktu Yang Tepat Untuk Menikah?

Buku Waktu untuk Tidak Menikah
(Sumber: bukumojok.com) 

Waktu untuk Tidak Menikah | Amanatia Junda | Penerbit: Buku Mojok | Cetakan pertama, Januari 2019 | Tebal: viii + 178 halaman | ISBN: 978-602-1318-76-8

Setahun yang lalu, seorang teman yang baru saja karam asmaranya bertanya kepada saya, apa indikator kesiapan seseorang untuk menikah. Saya yang miskin pengalaman soal asmara bukannya merespon dengan dingin dan mengacuhkannya, malah menanggapi dengan hangat sembari memberikan ceramah via pesan singkat. Mengingat keangkuhan saya akan ilmu asmara, seharusnya saya malu. Tapi nasi sudah matang, tinggal dimakan, kalau tidak mau makan juga tak apa. Entah bagaimana kelanjutan kisah asmara teman tadi. Yang jelas kapal yang karam selalu ditinggalkan awaknya. Kalau ada yang masih setia menemani, kemungkinan yang pertama, nasib buruk menimpanya, yang kedua, dia buta.

Pandemi masih betah menemani ketika kawan-kawan satu persatu mulai pergi. Ada yang pulang kampung, bekerja diluar kota, menikah dan yang tersisa bisa dihitung dengan mata tertutup. Mereka yang sudah menikah tentu telah mempertimbangkan banyak aspek, dan menikah dikala pandemi adalah waktu yang tepat.

Salah seorang teman lain, beberapa tempo lepas bercerita, dia mimpi menikah. Saya meresponnya dengan dingin, karena dia masih jomlo, “mungkin memang musim nikah”, dan explore intagram akhir-akhir ini memang penuh dengan konten pernikahan ataupun lamaran. Kemudian dia menanyakan, “apa indikator kesiapan kita untuk menikah?”. Pertanyaan itu mengingatkan saya pada teman yang pertama.

Jauh hari saya sudah menemukan jawaban yang tepat untuk teman pertama, tapi karena dia sudah sibuk, mungkin dia sudah melupakan karam asmaranya. Tak apa, mungkin ini menjadi acuan juga untuk saya sebelum menikah. Jawabannya ada di kumpulan cerpen ini.

Saya membeli buku Waktu untuk Tidak Menikah cetakan pertama (yang memperkenalkan saya secara singkat dengan salah satu bookstragam asal Semarang, yang sampai kini masih bersilaturahmi, walau sekadar menonton story ig-nya, atau memberikan hati pada foto kirimannya) pada tahun 2019 awal. Ada postcard yang cukup menarik yang saya dapat dari buku ini. Saya berikan postcard itu pada teman, semoga dia tidak membuangnya.

Buku ini berisi 14 cerita pendek yang semuanya diambil dari sudut pandang tokoh perempuan. Dibuka dengan kisah perempuan yang menghilang dan diakhiri dengan romantisme rumah tangga. Mungkin beberapa pembaca tidak sepakat, ketika saya menyebutkan cerpen Pisah Ranjang itu cerita romantis. Tapi pembacaan saya seperti itu.

Pembacaan saya pada buku ini menyipulkan satu perangkat kesiapan kita sebagai individu untuk menikah dan bermasalah dengan individu lain. Ya, menikah memang menimbulkan banyak masalah, kalau masalahnya dicari.

Pertama, apakah kita sudah memahami diri kita. Itu pertanyaan yang perlu kita jawab. Apakah kita sudah tahu keburukan kita, sisi terpuruk kita, sisi terdalam dari kita. Katakanlah mungkin kita pelupa. Bagi kita itu permasalahan sepele, tapi terkadang jika kita pelupa, kita lupa bahwa kita pelupa, sehingga tidak menyadari kelemahan sendiri. Apa hal-hal yang berpeluang menyakiti pasangan dari dalam diri. Pemahaman terhadap diri sendiri juga meliputi motivasi kita untuk menikah, ya, karena menikah bukan hanya sekadar menyebar benih di ladang gandum.

Kedua, apakah kita sudah memahami keluarga kita. Hidup satu atap ditengah kehangatan keluarga tidak menjamin kita memahami apa yang ada dipikiran orang tua dan saudara. Banyak rahasia yang mungkin masih tertutup rapat antar keluarga, bahkan kita sendiri punya rahasia yang disembunyikan. Contohnya, ada di cerpen Waktu untuk Tidak Menikah, yang ahirnya dijadikan judul buku. 

Ketiga, apakah kita sudah selesai dengan masa lalu kita. Banyak yang singgah walaupun tidak menetap. Dalam persinggahan itu, banyak yang terjadi. Apa yang dianggap selesai belum tettu sudah selesai. Hal itu sangat mengganggu dalam hubungan. 

Terakhir, tentu, apakah kita sudah memahami pasangan kita. Banyak kesepakatan yang perlu dibuat sebelum menikah. Tapi buku ini tidak membahasnya, ya, seperti judulnya, waktu untuk tidak menikah. Cerita-cerita yang tersaji memang tidak tepat untuk memotivasi sebuah pernikahan. Tapi tepat untuk mempertimbangkan sebuah pernikahan.

Mungkin resensi kurang tepat digunakan untuk tulisan ini, tapi tak apalah. Ada kutipan yang pas untuk teman pertama saya yang karam tadi, dari cerpen Pada Jarak yang Memisahkan Kami.

"Betapa pun perpisahan baik adanya, sama baiknya dengan perjumpaan, tidak ada satu orang pun yang siap menghadapi perpisahan" halaman 100.


Semarang, November 2020

Tidak ada komentar untuk "Kapan Waktu Yang Tepat Untuk Menikah?"