Mengapa Harus Kartini?



Gambar Kartini
(Sumber: Wikipedia)

“Tanda tanya yang menuntut, mengapa di Bumi Jepara ada Wanita yang Hari Kelahirannya selalu di peringati oleh Nusantara? Apa perjuangannya yang melegenda? Berjuang dengan pena, pahlawan tanpa senjata, muda dan wanita.”

Lahir dari keluarga priyayi, ia mendapat nama imbuhan Raden Ayu, namun kita sudah biasa menyebut nama itu tanpa embel-embel kebangsawanannya, Kartini. Dikenal sebagai pejuang emansipasi, mendapat gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1964 dan hari kelahirannya harus diperingati setiap tahun sebagai hari besar. Pemberian gelar pahlawan disertai peringatan hari kelahirannya ini yang  kerap menuai kontroversi, apalagi Kartini berasal dari Suku Jawa, ditakutkan terjadi disintegrasi yang semakin menguatkan paradigma Jawa-Sentris yang bisa saja menimbulkan konflik karena tidak ada peringatan hari besar untuk pahlawan dari suku lain. 

Tapi faktanya, Indonesia masih adem ayem soal peringatan hari Kartini, bahkan wanita di seluruh Indonesia rasanya sepakat, jika tidak ada Kartini mungkin mereka tidak bisa seperti ini. Tapi pertanyaan terus terngiang, apa yang sebenarnya diperjuangkan Kartini?

Suku Jawa menganut sistem kekerabatan Patrilineal dimana laki-laki lebih diutamakan daripada perempuan. Adat yang menganggap hanya anak laki-laki yang bisa mengangkat derajat orang tua dan membuat para wanita di batasi hak-haknya. Bebas dan mandiri adalah konsep utama emansipasi yang diperjuangkan Kartini. Ia ingin mendobrak konstruksi patriarki dan mengusung kesetaraan gender sebagai konstruksi baru, dimana wanita bisa muncul dalam ranah publik ikut bersaing dengan laki-laki. 

Berjuang lewat tulisan, meskipun Kartini ingin memperjuangkan kesetaraan gender tapi dia masih memposisikan laki-laki dalam hal tertentu diatas wanita. Salah satu contoh, dalam setiap penerbitan tulisan yang ia buat, Kartini selalu meminta izin ayahnya, jika tidak diizinkan maka ia tidak akan menerbitkan tulisannya. Hal ini terjadi karena dalam budaya patriarki bukan penindasan gender yang terjadi, hanya ada hak-hak wanita yang dikekang oleh laki-laki. Kesetaran gender yang masih menjunjung nilai-nilai budaya lokal, ini yang jarang kita jumpai dalam mazhab-mazhab feminisme. Feminis Radikal menganggap perkawinan merupakan bentuk formalisasi diskriminasi terhadap wanita. Dengan dilakukannya perkawinan akan ada pembagian wilayah kerja dalam ranah publik dan ranah domestik yang biasanya dibedakan dengan jenis kelamin. Wanita biasa ditempatkan dalam pekerjaan yang bersentuhan dengan urusan rumah tangga, mengurus anak, memasak, membersihkan rumah, dan lain sebagainya. Feminis Radikal menganggap ada agenda tersembunyi dari perkawinan, yaitu memberi kekuasaan laki-laki melebihi wanita. Pandangan ini berbeda dengan cita-cita emansipasi Kartini. Contohnya, Ia membatalkan niat untuk melanjutkan studi menjadi guru karena hendak menikah. Pandangan Kartini tentang pernikahan pada mulanya sama seperti Feminis Radikal, hanya menjadi penghambat dalam mencapai cita-cita dan menjadi bentuk diskriminasi lanjutan setelah terlepas dari orang tua. Tapi saat menjelang pernikahannya Kartini mempunyai pandangan lain, dengan menikah ia bisa mewujudkan keinginannya mendirikan sekolah bagi perempuan, karena hal itu didukung penuh oleh calon suaminya. Dari sini ia ingin mengatakan, Pernikahan bisa saja menjadi batu loncatan dari cita-cita bukan selalu tentang pembatasan-pembatasan, bahkan saat ini bisa kita jumpai banyak wanita karier yang sukses tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai Ibu dan Istri. 

Gagasan-gagasannya tertuang dalam surat-surat dan tulisan lain. Habis Gelap Terbitlah Terang yang paling populer, merupakan buku yang berisi kumpulan surat-surat kartini. Di dalamnya berisi gagasan murni manusia Indonesia. Pada masa itu menulis merupakan kegiatan yang belum tentu bisa dilakukan semua orang, apalagi wanita. Pram dalam bukunya menyebut bahwa Kartini termasuk penulis yang produktif saat itu, apalagi mengingat ia meninggal di usia yang cukup muda. Tulisan-tulisan yang berisi gagasan perjuangan ini yang mungkin menobatkannya sebagai pahlawan.

Jika menengok kebelakang, pada periode pemberian gelar pahlawan untuk Kartini, kita juga melihat masa dimana terjadi gerakan-gerakan wanita yang melahirkan Feminis Radikal. Mazhab ini juga lahir dari aktivitas dan analis politik mengenai hak-hak sipil dan gerakan-gerakan transformasi sosial pada kurun 1950-1960. Bisa jadi pemberian gelar pahlawan nasional untuk Kartini tak lain untuk membuat kiblat emansipasi bagi wanita, karena mazhab feminis yang ada di nilai tidak mencerminkan budaya Indonesia. Konsep emansipasi yang lahir dari pemikiran Kartini mampu diterima oleh seluruh masyarakat, karena nilai-nilai kesetaraan yang diangkat merupakan mayoritas masalah yang dialami wanita di Indonesia.

Setiap tanggal 21 April, Indonesia memperingati hari besar dengan sebutan Hari Kartini. Kemeriahannya selalu diperingati di seluruh negeri dengan cara yang hampir sama, menggunakan pakaian adat, parade budaya, dan lain sebagainya. Inti dari peringatan itu adalah mengungkapkan bahwa di Indonesia antara laki-laki dan perempuan sudah setara. Tapi cara berjuang Kartini kurang direnungkan dalam setiap peringantannya. Memperjuangkan masalah pendidikan. Seharusnya peringatan hari Kartini dilakukan dengan membuat kegiatan yang menyentuh unsur pendidikan. Secara singkat penulis ingin mengatakan jika ini Hari Kartini dan kita belum menulis, maka kita belum memperingatinya, karena Kartini berjuang lewat tulisan.


Semarang, April 2017

*tulisan ini pernah beberapa kali dimuat di laman blog kolega penulis

Tidak ada komentar untuk "Mengapa Harus Kartini?"