Ketika Negara Menggelitik Perut Rakyat

 

Buku Republik Rakyat Lucu
(Sumber: starbooks)

Republik Rakyat Lucu | Eko Triono | Penerbit: Shira Media | Cetakan pertama, 2018 | Tebal: 168 halaman | ISBN: 978-602-5868-40-5

Pemakluman demi pemakluman yang kita biarkan setiap hari sebenarnya adalah masalah yang cukup serius. Pasalnya pemakluman tersebut bisa jadi menganggu kita jika sampai pada ranah kebijakan, alih-alih melawan dan menentang pemakluman tersebut, kita malah berjalan bersama dan mendukungnya. Pasti dalam bawah sadar, kita menyadari bahwa sekolah favorit hanya menerima orang-orang pintar dengan modal materi besar sehingga bisa meluluskan alumni yang mentereng dan berjaya dalam hidupnya. Namun, orang-orang dengan kapasitas materi yang rendah belum tentu bisa masuk dalam sekolah favorit dan memiliki masa depan yang sama. Disini, lingkungan berperan besar.

Yuval Noah Harari menyebut ini sebagai Hierarki Khayalan Masyarakat, dimana kondisi masyarakat dipisahkan dengan kelas yang berdasar kapasitas mereka. Kapasitas ini bisa berupa uang. Dalam masyarakat tradisional, pemisahan bisa berdasarkan kasta. Masyarakat Jawa oleh Clifford Gertz terbagi menjadi kelas Abangan, Santri, dan Priyayi. Hierarki tersebut terkonstruksi secara bertahap dan dalam tempo lama. Hingga kini, meskipun sedikit bias, pembagian ini masih bisa dirasakan. 

Kesempatan yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam pembagian kelas tentu berbeda meskipun memiliki gen yang sama, sekali lagi, disini faktor lingkungan berpengaruh. Untuk menandingi sebuah hierarki khayalan masyarakat diperlukan lawan tanding yang serupa yaitu, tatanan khayalan. Tatanan khayalan memunculkan apa yang kita kenal dengan Hak Asasi Manusia. Namun, HAM berjalan dengan penafsiran berbeda antar individu karena merupakan khayalan, sehingga ketimpangan sosial masih terjadi. Dan pada akhirnya masyarakat modern terbagi berdasarkan harta yang mereka miliki.

Pembagian kelas dalam masyarakat modern ini menjadi salah satu kritik dalam buku kumpulan cerpen Eko Triono. Berlatar sebuah negara fiksi bernama Republik Rakyat Lucu, Eko memanggil tokoh Gembus yang selalu dimasukan dalam cerita, meskipun di beberapa cerita tokoh Gembus seperti dipaksakan masuk hanya sebagai pengantar. Seperti, “Gembus mendengar cerita dari temannya” atau “pada suatu hari Gembus mendengar” dan terkadang nama Indonesia juga dipanggil sebagai negara tetangga.

Meskipun berisi kumpulan cerita pendek, alur kehidupan yang dibawa Eko berjalan maju, dari usia anak hingga dewasa. Kritiknya dimulai dengan persoalan pendidikan. Dalam cerpen “Kalah Sama Tukang Bengkel” Eko meluncurkan kritik terkait penyaringan siswa dalam ujian masuk sekolah dan menanyakan apa fungsi sesungguhnya dari pendidikan. “Warung makan ini hanya menerima pelanggan yang sudah makan, minum, dan kenyang” nada satir itu menjadi papan pengumuman yang terpampang dengan tulisan semakna menyebar di beberapa tempat mulai dari bengkel hingga kantor KUA. Papan itu menjadi reaksi dan senjata “orang kalah” ketika sekolah menerbitkan aturan hanya akan menerima murid yang sudah bisa baca tulis dan hitung.

Senjata lain muncul dalam cerpen “Jam Istirahat, Apa Kamu Tidak Lihat?” yang mempertontonkan sengkarut pelayanan birokrasi yang berbelit. Kritik-kritik tersebut muncul dari pemakluman yang kita lakukan terhadap realitas. Semisal, wajar saja orang berduit dapat pelayanan prima dari birokrasi, atau memaklumkan praktek gratifikasi dalam pemerintahan. Akibat paling fatal dari pemakluman subjektif massal terdapat dalam cerpen “Ciuman Kematian” dimana Surti, teman Gembus, mati gantung diri setelah dicium dosen pembimbing skripsi. Surti mencari perlindungan dan yang ditemukan hanya pemakluman.

Permasalahan sensitif tentang pemimpin seiman juga diangkat dalam cerpen “Tidak Seiman”. Kritik ini menyasar masyarakat yang mempermasalahkan iman dari pemimpin, hingga dikisahkan seseorang yang hanya makan embun dan cahaya karena tak ada mesin penggiling padi yang dibuat teman seimannya.

Masih banyak kritik lain dalam buku yang berisi 44 cerpen, beberapa cerpen sangat pendek, orang menyebutnya fiksi mini. Namun fiksi mini tersebut juga sangat padat. Beberapa cerpen lain yang pernah dimuat di media, cukup panjang dan memiliki perbedaan mencolok dari cerpen lain. Yang perlu kita ingat, kritik yang disampaikan oleh Eko Triono diperuntukan bagi negeri sahabat, Republik Rakyat Lucu, bukan negeri kita tercinta, Indonesia.


Semarang, Januari 2021

Tidak ada komentar untuk "Ketika Negara Menggelitik Perut Rakyat"